Selama 23 tahun hidup, tentu banyak hal yang telah disesali. Baik dalam membuat pilihan maupun dalam mengambil keputusan. Wajar saja merasa menyesali atas pilihan-pilihan yang ditinggalkan dan bertanya pada diri,
“Mengapa dulu membuat pilihan seperti itu?”
“Kalau saja dulu aku tidak begini, aku tidak begitu.”
Tapi, karena manusia adalah makhluk cerdas yang belajar dari kesalahan, jadi begitulah adanya. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, masa kini ataupun masa depan.
Hal yang ingin kubicarakan adalah, aku tentu sering membuat pilihan-pilihan yang merugikan untuk masa depan. Tentu juga aku menyesalinya. Tapi aku tidak pernah menyesali perjuangan dan keringat yang aku keluarkan. Aku telah berjuang semaksimal mungkin. Aku telah melakukan yang terbaik.
Selama sekolah, aku telah belajar sangat keras. Meski saat sekolah dasar aku baru menyadari asyiknya belajar pada kelas 5, aku telah membayarnya saat SMP dan SMA. Di masa puber, setiap malam aku lebih sering memakai bantal yang keras dan tidur di tempat yang tidak nyaman. Kenapa?
Tentu agar cepat bangun dan belajar lagi di pukul 4 pagi. Matematika adalah makananku, tapi aku lebih suka IPA bagian kimia dibanding itu. Aku duduk di kamar pesantren kosong. Mengisi buku kiat-kiat lulus UN di kamar itu, yang katanya ada kitab melayang karena jin Islam. Meski agak cemas takut buku kiat-kiat lulus UN melayang, tapi aku lebih takut tidak bisa mengerjakan soal saat ujian nanti.
Buahnya, aku bisa menjadi posisi pertama dikelas dan posisi ketiga se-sekolah. Bukan yang pertama atau menjadi yang terbaik, tapi aku puas.
Masa SMA lebih parah dari itu. Aku bukan siswi yang berkesempatan untuk mengikuti les maupun pelajaran tambahan di luar sekolah. Jadi aku berusaha sangat keras. Aku hanya tidur 2,5 jam. Tidak lebih. Selepas pulang mengaji pukul 10 malam, aku langsung tidur hingga pukul 12 malam. Kemudian bangun dan kembali belajar hingga pukul setengah 3 pagi. Tidur kembali hingga pukul 3 pagi. Sisanya hanya belajar.
Buahnya, meski harus meraih rangking 5, 3 dan 2, aku bisa menjadi juara umum satu sekolah pada akhirnya. Menjadi yang pertama, tapi aku tidak puas.
Aku menjadi lebih banyak bermimpi dalam kurung kura-kura. Selepasnya keluar, aku jadi seorang pecundang yang tidak tahu dunia. Aku tidak tahu bagaimana cara memulai semuanya. Ya, aku pecundang sosial. Dari pada berteman dan mendengarkan keluh kesah teman, aku lebih suka mengerjakan soal matematika.
Akhirnya alih-alih belajar dengan giat, aku lebih memilih melakukan ini itu di masa kuliah. Bukan berarti acuh tak acuh dengan belajar, tapi aku lebih memilih bergabung dengan lingkaran yang belum pernah kusentuh. Akibat dorongan patah hati juga, aku menjadi lebih berani. Tidak menjadi orang sosial, tapi aku puas telah melakukan banyak hal.
Selepas kuliah aku bepergian ke tempat yang aku mau. Mencari peluang kesana-kemari. Memberanikan diri untuk mengambil keputusan untuk berjalan sendiri. Meski belum mendapat kesempatan, tapi aku puas dengan pengalaman.
Lalu apa maksud dari ‘Melarikan Diri’?
Ya, aku sudah puas dengan perjuangan yang telah dilakukan. Segala usaha yang menjadikanku sebagai aku yang hari ini. Aku butuh uang tapi aku tidak haus harta yang bergelimang. Bukan PNS atau guru yang mengayomi, tapi aku puas bekerja sendiri.
Lalu kenapa ada orang yang selalu mengejar aku dengan pertanyaan,
“Mau gitu aja? Sibuk apa? Selamanya mau begitu? Segitu aja puas?”
“Kamu berada diposisi itu karena keberuntungan yang besar.”
Aku puas, aku telah bekerja keras dan akan terus bekerja keras. Keberuntungan adalah kata bagi orang yang tersandung batu, kemudian selamat dan bisa kembali berdiri. Sayangnya aku tidak tersandung oleh apapun. Tentu aku mengucapkan ‘terimakasih’ kepada orang-orang yang pernah berada disisiku. Tapi aku tidak butuh orang yang selalu membuat risau, orang yang selalu mendorong bahwa aku tidak boleh begitu-begitu saja.
Aku akan sadar diri saat aku harus berubah. Diriku akan berproses sebagaimana manusia hidup di dunia. Aku juga minta maaf tidak bisa menuruti perkataan mereka lagi, karena aku lebih percaya diri.
Maaf, lebih memilih melarikan diri dari lingkaran yang tidak berujung. Tidak ada yang namanya batas didunia. Batas diciptakan manusia dan aku telah menciptakannya. Jika hari ini mereka masih mengandalkanku, aku sudah tidak mau mengandalkan mereka. Aku sudah lelah hidup dalam belenggu.
Sebenarnya aku tidak perlu meminta maaf. Bukankah manusia punya hak atas diri mereka sendiri?
Aku akan melarikan diri. Selamat tinggal. Jangan pernah hubungi aku lagi, karena aku tidak akan pernah menjadi seperti yang mereka inginkan.